Kuliah Hukum: Sistem Pengendalian Nasional - Karupuak Leak

Latest

Thursday, November 30, 2017

Kuliah Hukum: Sistem Pengendalian Nasional

Jawaban ujian Sistem Pengendalian Nasional


1. Sistem pengawasan politis dan yuridis gagal berjalan dengan efektif karena legislatif dengan eksekutif hanya didominasi oleh satu partai, dengan demikian check and balances tidak dapat berjalan dengan lancar.

Pengawasan Politis yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar dari pengawasan politis terdapat didalam Pasal 20A UUD NRI 1945 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”. Ketentuan pengawasan politis, diharapkan lembaga legislatif dapat berfungsi untuk dapat meminimalisir tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang. Mekanisme Pengawasan Polistis Di dalam bentuk Pengawasan politis, DPR memiliki hak-hak khusus dalam upaya melakukan pengawasan. Secara umum, Pasal 20A Ayat (1) UUD memberi landasan konstitusional bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Berdasarkan ketiga fungsi tersebut, kepada anggota DPR secara kolektif, diberikan hak-hak berupa Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat (Vide Pasal 20A Ayat (2) UUD NRI 1945).

Baca juga: Menghasilkan uang melalui internet dengan Google Adsense

Hak interplasi, hak angket, dan menyatakan pendapat ini nantinya akan mengawasi kerja eksekutif. Eksekutif bekerja menjalankan janji kampanye kepada rakyat. Kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh eksekutif menjadi objek pengawasan politis bagi badan legislatif. Ini akan menjadi lemah apabila partai mendominasi di legislatif merupakan partai yang sama dengan partai yang ada di eksekutif. Akan timbul kemungkinan saling bekerjasama dan menutupi kesalahan dari lembaga pemerintahan di eksekutif. Dengan pelemahan fungsi pengawasan tersebut akan menimbulkan keputusan pemerintah yang keliru tapi tidak diperingati oleh badan legislatif, sehingga keputusan tersebut hanya menguntungkan sekelompok pihak dan tidak memenuhi rasa keadilan.
Secara normatif, pengawasan politis bersifat absolut karena diatur baik didalam UUD NRI 1945 maupun Inpres yang memberikan mandat terkait dilakukannya pengawasan politis. Selain itu, sifat pengawasan politis juga bersifat absolut demi tercapainya sistem check and balance di dalam struktur ketatanegaraan, dengan adanya pengawasan politis yang dilakukan oleh legislatif, maka eksekutif tidak akan memiliki kekuatan yang absolut, hal tersebut ditujukan agar pemerintah yang diciptakan tidaklah bersifat otoriter. Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Gayus Lumbun, SH., MH juga mengatakan bahwa “Dari perspektif kelembagaan, salah satu fungsi utama lembaga legislatif adalah melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Pengawasan yang dilakukan DPR terhadap eksekutif harus dilakukan dalam kerangka checks and balances untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik – yang tidak menjurus kepada ‘pamer kekuatan’ (power demonstration), dan dirasakan sebagai killing field (ladang pembantaian) bagi aparat birokrasi” (Gayus, www.examinasi.com, 2012) Namun secara empiris, pengawasan politis ini sendiri ternyata bersifat relatif. Hal ini dikarenakan ada atau tidak adanya pengawasan politis adalah berdasarkan komposisi anggota DPR. Pengawasan politis bisa saja tidak dapat dilakukan dikarenakan Presiden / Eksekutif berasal dari partai pemenang, atau fraksi yang memiliki suara mayoritas di dalam lembaga legislatif yang notabene memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan.
Dalam pengawasan politis ini Presiden tidak serta merta lepas dari ikatan partai, walaupun pada prinsipnya partai hanya kendaraan politik waktu Pemilu dan setelah terpilih jadi Presiden, maka dia mempuyai hak perogrstif tanpa intervensi dari pihak manapun. Akan tetapi intervensi itu selalu ada pada kenyataannya. Kekuatan partai masih terasa dalam menentukan kebijakan yang akan dijalankan, jangankan untuk menjalankan program, balas jasa dengan bagi – bagi kursi pun tak terelakkan, susah mencari figur independen dengan melupakan jasa – jasa pengusungnya. Pengusung partai walaupun tidak secara langsung meminta tapi sudah barang jadi kewajiban oleh pemenang pemilu presiden dalam memilih menterinya. Keadaan tersebut pun akan setali mata uang dengan keadaan di lembaga legislatif. Dominasi partai menjadikan muara suara hanya ke kepentingan partai. Bagaimana tidak, walaupun suatu rancangan atau rapat kurang memihak kepada kepentingan umum, tapi jika suatu pimpinan partai dalam perwakilan menyetujui, maka yang dibawahnya akan ikut juga menyetujui walaupun hati nurani menolak, karena jika menolak akan berurusan dengan pengurus partai secara interen. Sebuah ketakutan yang tidak diminta, tapi kewajiban yang harus dijalankan walupun tak disuruh sekalipun dalam lembaga legislasi.
Hal yang mendasar tersebut menjadikan partai dominasi di legislatif dengan partai yang sama di eksekutif menjadikan pemerintahan tidak menarik. Saya berani mengatakan tidak menarik karena tidak adanya penyeimbang, tarik ulur kepentingan yang kurang aktif, karena yang ada hanyalah saling mengamini, terlepas dari benar atau tidak benarnya suatu kebijakan. Terlalu duduk diposisi nyaman tersebut, berimbas kepada rakyat yang dipimpin, pemimpin seharusnya menjadi pelayan rakyat kini terlena dikursi empuk dengan kesepahaman tanpa ada penyeimbang sehingga kurang sosialisasi dalam merubah suatu keputusan, contoh kenaikan BBM tanpa ada perlawanan, kenaikan tarif dasar listrik secara diam – diam dan lain sebagainya, hal tersebut tak lain adalah perpanjangan suara di legislatif tidak membela hak rakyat kecil tapi malah mengamini perbuatan yang dibuat bersama-sama.
Begitupun dengan pengawasan yuridis, pasti ada kepentingan penguasa yang membuat suatu Undang-undang, tentu tidak akan dibuat aturan yang dapat merugikan lembaga atau individu yang ada didalamnya. Penguasa lebih cenderung mensiasati isi materi perundang – undangan agar menguntungkan bagi kalangannya sendiri. Kepentingan yang sama juga berimbas pada kerjasama dalam hal negatif, seperti membuat aturan berdasarkan pada keinginan semata tanpa memperhatikan rakyat, maka akan lahirlah aturan yang tidak responsif terhadap rakyat. Belum lagi regulasi yang bersifat pesanan dari pengusaha, keberadaan pengusaha besar tidak dapat kita elakkan dari perpolitikan di Indonesia khusunya. Kampanye dalam Pemilu telah mengisyaratkan bahwa peran pengusaha dalam memberikan sokongan dana tambahan kampanye menurut saya secara tidak langsung melemahkan sistem pemerintahan kita. Mengapa saya sebut demikian, ini tidak lebih dari pesanan regulasi yang menguntungkan serta proyek-proyek yang akan dijalankan saat menjabat. Tak ada makan siang gratis, itu sangat cocok sekali menggambarkan suatu kepentingan, kebenaran itu hanya dipandang dari satu sudut pandang, tanpa memperhatikan sudut pandang yang lain dan secara nalar mempertimbangkan hal yang baik dan benarnya. Kebenaran hakiki itu menurut manusia banyak pada anggapan bisa meyakinkan dan mempengaruhi seseorang agar bisa berpendapat sehaluan, padahal tidak demikian
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengawasan politis dan yuridis tidak dapat berjalan dengan efektif karena lemahnya oposisi dalam menekan pemerintah untuk melakukakn perbuatan hukum yang tidak adil. Lemahnya oposisi berkaitan dengan porsi atau jumlah yang opsisi itu sendiri yang kalah dalam hal suara jika seandainya suatu keputusan diakhiri dengan pemungutan suara. Dominasi satu partai juga mengakibatkan lemahnya pengawasan yuridis yang berimbas pada produk hukum yang dihasilkan. Produk hukum akan cenderung memihak karena tergantung pesanan dan mementingkan kekebalan yang absolut bagi pembuat keputusan. Maksudnya kekebalan itu adalah pembuat hukum akan mendesain dengan segala upaya supaya dia sebagai pihak yang membuat aturan tidak terkena imbas dari aturan yang dibuat, atau tidak menjadi senjata makan tuan. Berkaitan dengan hal tersebut saya memberi saran kepada pemerintah baik legislatif maupun eksekutif, sekalipun hanya didominasi oleh satu partai, tapi keadilan itu harus ditegakkan, jangan jadikan kepentingan sebagai acuan dalam bekerja tapi jadikan keadilan sebagai nawacita untuk kehidupan bernegara yang adi dan makmur.

2. Peran kerja lembaga – lembaga independen yang saat ini bekerja dalam sistem pengawasan pada bidang mereka masing – masing bertujuan untuk menentukan kewenangan absolut suatu lembaga independen. Berbicara mengenai kewenangan absolut suatu lembaga independen tidak terlepas dari bidang kerja yang menugasi mereka dalam peraturan perundang-undangan. Beban kerja tersebut dibuat dan dituangkan dalam undang-undang yang mengikat lembaga independen dalam menjalankan tugas. Seperti tugas pokok KPK diatur dalam Undang – undang KPK. Klasifikasi tersebut memberikan batasan kepada lembaga independen sejauh mana dia bisa berwenang. Klasifikasi kewenangan memberikan suatu harmoni agar tidak saling bersinggungan satu sama lain.

Dalam literatur ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled). Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”, sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara. Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya. Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara. Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban. Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.
Jadi dengan demikian, munculnya kewenangan adalah membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang. Kemudian muncul pula asas dalam hukum administrasi negara “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.” Oleh karena itu siapapun atau pejabat manapun harus mempertanggungjawabkan setiap tugas dan kewenangannya. Maka, untuk mengetahui lebih lanjut dari pada siapa yang mesti bertanggung jawab dari pejabat tersebut maka hal ini penting untuk diuraikan tiga cara memperoleh wewenang:
a)    Atribusi adalah pemberian kewenangan pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan tersebut. Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang dituju atas jabatan yang diembannya. Misalnya berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 menegaskan  “DPR dapat membentuk undang-undang untuk disetuji bersama dengan Presiden”.
b)    Delegasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan yang satu kepada organ pemerintahan lainnya. Atau dengan kata lain terjadi pelimpahan kewenangan. Jadi tanggung jawab/ tanggung gugat berada pada penerima delegasi/ delegataris. Misalnya: pemerintah pusat memberi delegasi kepada semua Pemda untuk membuat Perda (termasuk membuat besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing.
c)    Mandat terjadi jika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat tidak terjadi peralihan tanggung jawab, melainkan tanggung jawab tetap melekat pada sipemberi mandat. Misalnya instruksi gubernur kepada sekretaris daerah agar ia bertanda tangan untuk keputusan pencairan anggaran pendidikan. Jadi di sini jika jika keputusan yang hendak digugat berarti tetap yang digugat/ sebagai tergugat adalah Gubernur. Mengenai rumusan mandat, oleh Philipus M Hadjon mengemukakan ”Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau delegasi. Oleh karena mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intim-hirarkis organisasi pemerintahan. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian  wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut.
Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)    Delegasi harus definitif, artinya delegasn tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b)    delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
c)    delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d)     kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e)    peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.
Dari klasifikasi kewenangan tersebut maka lembaga negara independen negara juga mendapat atribusi langsung dari UUD NRI 1945 yaitu perintah membuat lembaga independen yang bertugas dengan bidang masing-masing seperti KPK dibidang Peberantasan korupsi, KPU di bidang pemilihan umum dan lain sebagainya.

3. Jika ada rencana untuk membuat RUU Sistem Pengawasan Nasional yang rencananya untuk merapikan sistem pengawasan di Republik ini, yang sangat urgent dimasukkan menjadi materi muatannya adalah

a)    Tidak ada Badan Negara yang mengurus sistem pengawasannya dari hulu ke hilir termasuk dalam melaksanakan peradilan.
Seperti KPPU yang melaksanakan semua kegiatan dari pengawasan sampai mengadili perkara. Hal ini akan menimbulkan kesenjangan dan keanehan dalam berperkara, karena yang menjadi pelaksana adalah semua yang ada dalam KPPU. Dalam hal ini asas Check and balances tidak dapat dipenuhi, karena tidak ada campur tangan dari pihak luar dalam mengawasi KPPU sendiri dalam melakukan tugas. Akan aneh suatu peradilan dalam KPPU dia yang menjadi hakim, dia yang menjadi jaksa dan dia pula yang melakukan eksekusi terhadap vonis. Dengan adanya hal seperti itu, dinamika dalam peradilan tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya karena cenderung menjadi suatu suara, tanpa ada perlawanan dari pihak penuntut, adapun perlawanan hanya dari pihak tersangka saja. Hal itu akan memberikan dampak yang tidak baik bagi penegakan hukum karena ada pihak yang dirugikan dalam hal ini.
b)    Menyatukan beberapa lembaga menjadi satu lembaga yang memiliki kewenangan yang sama,
Hal ini dapat kita lihat adanya beberapa lembaga independen yang memiliki objek visi yang sama. Seperti masalah Hak Asasi Manusia, penyiaran dan lembaga lain yang mempunyai banyak organisasi. Hal tersebut akan mempengaruhi sistem pengawasan, semakin banyak lembaga yang bergerak dibidang yang sama maka akan memberi suatu kerumitan dalam melakukan pengawasan, karena setiap lembaga mempunyai AD/ART sendiri – sendiri, dengan demikian pengawasan harus dilakukan satu persatu sehingga membutuhkan waktu yang lama dan sangat tidak efisien. Efisiensi akan terwujud jika ada perampingan sehingga pengawasan akan bisa lebih mudah jika bergabung menjadi satu wadah.
c)    Merapikan penamaan pada Badan Negara agar memudahkan untuk menentukan klasifikasi dan tipe pengawasan.
Hal ini akan sangat memudahkan untuk melakukan pengawasan, karena lembaga pengawas sudah terklasifikasi. Klasifikasi ini dapat dilakukan dari beberapa sudut pandang baik secara hukum publik maupun secara hukum privat dan atau juga pada Peradilan Tata Usaha Negara. Disini harus ada kejelasan dalam hal wewenang absolut dari sistem pengawasan. Keberlakuan hukum positif di Indonesia banyak peraturan yang memberikan alternatif penyelesaian sengketa dengan berbagai macam peradilan. Hal ini juga akan membuat kerumitan yang menyita tenaga dan pikiran pelaksana tugas pengawasan, kenapa tidak, akan ada disetiap lembaga mengawas divisi yang mengatur cara penyelesaian sengketa karena ada alternatif. Hendaknya penyelesaian perkara alternatif tidak dimasukkan dalam pengawasan, cukup satu cara penyelesaian sengketa dalam suatu lembaga pengawas.
Pengawasan akan terfokus dan efektif jika dibedakan satu sama lainnya. Beberpa Badan pengawas bisa berkoordinasi jika membutuhkan informasi dalam suatu pengwasan, hal ini akan sangat memudahkan karena hanya berupa transfer data dan dapat dijadikan acuan karenainformasi yang didapatkan sudah merupakan sebuah pembuktian dan dapat dijadikan fakta, fakta – fakta yang tersimpan di badan pengawas juga akan bisa diintegrasikan dengan lembaga lain, supaya lembaga lain bisa memantau keadaan dan melihat pertanggungjawaban dari badan pengawas itu sendiri.
    Tiga hal urgent tersebut bisa dimasukkan dalam perencanaan RUU Sistem Pengawasan Nasional untuk merapikan sistem pengawasan Nasional Indonesia. Tujuan akhir dari pengawasan itu adalah terciptanya check and balances dalam pelaksanaan tugas aparatur negara, karena dengan adanya pengawasan tersebut, aparatur negara dapat diperingati, menjalankan tugas sesuai kewenangan. Selain itu akan memberikan efek jera kepada aparatur negara baik secara lembaga maupun secara individu agar menaati aturan yang telah dibuat secara baku dan mengikat.
Sehingga pada aplikasi melalui undang – undang nantinya akan memenuhi konsep dasar dari pengawasan itu sendiri yaitu pengawasan melekat, pengawasan masyarakat, pengawasan politis, pengawasan yuridis dan pengawasan fungsional.
Pengawasan melekat dimaksud dilakukan melalui enam hal yaitu: Penggarisan struktur organisasi yang jelas dengan pembagian tugas dan fungsi beserta uraiannya yang jelas pula; Melalui perincian kebijaksanaan pelaksanaan yang dituangkan secara tertulis yang dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaannya oleh bawahan yang menerima pelimpahan wewenang dari atasan; Melalui rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan, bentuk hubungan kerja antar kegiatan tersebut, dan hubungan antar berbagai kegiatan beserta sasaran yang harus dicapainya; Melalui prosedur kerja yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang jelas dari atasan kepada bawahan; Melalui pencatatan hasil kerja serta pelaporannya yang merupakan alat bagi atasan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan serta penyusunan pertanggung-jawaban, baik mengenai pelaksanaan tugas maupun mengenai pengelolaan keuangan; dan Melalui pembinaan personil yang terus menerus agar para pelaksana menjadi unsur yang mampu melaksanakan dengan baik tugas yang menjadi tanggungjawabnya dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan maksud serta kepentingan tugasnya.
Pemerintah melakukan tindakan-tindakan untuk meningkatkan pengawasan melekat. Tindakan-tindakan tersebut berfokus pada program lima aspek yaitu: Aspek sarana pengawasan melekat; Aspek manusia dan budaya; Aspek tugas pokok dan fungsi unit kerja; Aspek  langkah-langkah pelaksanaan pengawasan melekat yang biasa disebut dengan Standard Operational Prosedure (SOP); dan Aspek pelaporan pengawasan melekat.
Kegiatan pelaksanaan Pengawasan Fungsional dilaksanakan berdasarkan rencana program kerja pengawasan tahunan yang disusun sesuai dan sejalan dengan petunjuk MENKO EKUIN dan WASBANG. Usulan program kerja tahunan pengawasan tahunan tersebut disusun oleh BPKP menjadi program kerja  pengawasan tahunan setelah berkonsultasi dengan aparat pengawasan fungsional yang bersangkutan. Koordinasi Pelaksanaan Pengawasan Fungsional penting dilakukan untuk menjamin keserasian dan keterpaduan pelaksanaan  pengawasan. Kepala BPKP memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan  Nasional / Ketua BAPPENAS mengenai anggaran pelaksanaan program kerja pengawasan tahunan.    
Pengawasan politis disebut juga pengawasan informal karena biasanya dilakukan oleh masyarakat baik langsung maupun tidak  langsung. Pengawasan ini juga sering pula disebut social control. Contoh-contoh  pengawasan jenis ini misalnya pengawasan melalui surat-surat pengaduan masyarakat, melalui media masa dan melalui badan-badan perwakilan rakyat baik di tingkat pusat yaitu DPR, maupun di tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kodya (DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota).
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali tiga hak[2], yakni : Hak Interpelasi yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Hak Angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan Hak Menyatakan Pendapat yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; mengenai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


No comments:

Post a Comment